
![]() |
Membatik Tulis |
Adapun peralatan yang digunakan dalam menciptakan batik tulis yakni sebagai berikut:
A. Bandul
![]() |
Bandul |
Bandul dibentuk dari timah, atau kayu, atau kerikil yang dikantongi. Fungsi pokok bandul ialah untuk menahan mori yang gres dibatik supaya tidak gampang tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Makara tanpa bandul pekerjaan membatik sanggup dilaksanakan.
B. Canting
![]() |
Canting |
![]() |
Dingklik |
D. Gawangan
![]() |
Gawangan |
E. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam” (lilin untuk membatik). Wajan dibentuk dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya gampang diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh lantaran itu wajan yang dibentuk dari tanah liat lebih baik daripada yang dari logam lantaran tangkainya tidak gampang panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan “malam”.
F. Anglo (Kompor)
![]() |
Anglo dan Wajan |
G. Tepas
![]() |
Tepas |
H. Taplak
Taplak berfungsi untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin malam dari canting.
Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum diberi teladan motif batik dan dibatik.
Mengolah mori sebelum dibatik
![]() |
Mencuci Mori |
Setelah wantu panas, mori higienis dimasukkan kedalamnya. Cara memasukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung hingga pangkal secara urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus.
![]() |
Penjemuran Mori |
![]() |
Pengemplongan |
Cara memindah kayu penggaris setelah garis pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengang-katnya. Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digarisi, pribadi dirangkap dengan teladan pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah sanggup dimulai kerja membatik.
Mori yang sudah di kemplongi dan di garisi, apabila akan dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif lain yang membutuhkan bidang tertentu serta lurus, umumnya di”rujak”. Dirujak artinya membatik tanpa mngunakan pola; orang yang membatik demikian disebut “ngrujak”. Orang yang Ngrujak yakni orang yang sudah ahli. Sedang orang yang gres taraf mencar ilmu atau belum lahir biasanya hanya “nerusi” atau “ngisen-ngiseni”. Sedangkan membatikdengan mempergunakan teladan sudah diterangkan dimuka. Baik membatik rujak maupun membatik mempergunakan teladan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, alasannya yakni taraf permulaan ini merupakan penentuan burukbaiknya bentuk batikan secara keseluruhan.
B. Persiapan Membatik
a. Keren, atau anglo dan wajan berisi “malam” harus sudah siap untuk mulai membatik. Malam harus tepat cairnya (malam tua). Supaya lancar keluarnya melalui cucuk canting; selain itu malam sanggup meresap dengan tepat dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus dijaga tetap membara, tetapi dihentikan menyala, lantaran berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan.
b. Mori yang sudah dipersiapkan harus telah berada diatas gawangan akrab keren, anglo. Si pembatik duduk diantara gawangan dan keren atau anglo. Gawangan bangkit disebelah kiri dan keren disebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut “pengobeng”.
c. Setelah semuanya beres pembatik memulai tugasnya. Pertama memegang canting. Cara memegang canting berbeda dengan cara memegang pensil, atau pulpen untuk menulis. Perbedaan itu disebabkan ujung cucuk cantingbentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus. Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah menyerupai memegang pensil untuk menulis, tetapi tangkai canting horizontal, sedangkan pensil untuk menulis dalam posisi condong. Posisi canting demikian itu untuk menjaga supaya malam dalam nyamplunga tidak tumpah.
d. Dengan canting itu pengobeng menciduk malam mendidih dalam wajan kemudian dibatikkan diatas mori. Sebelum dibatikkan canting ditiup lebih dahulu cara meniuppun dengan hukum tertentu, supaya malam dalam nyamplungan tidak tumpah pada bibir pengobeng.
Canting ditiup dengan maksud :
![]() |
Meniup Canting |
- Untuk mengembalikan cairan malam dalam cucuk kedalam nyamplungan, supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori.
- Untuk menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting; lantaran cucuk canting yang berlumuran cairan malam akan mengurangi baiknya goresan, terutama ketika permulaan canting diproseskan pada mori.
- Untuk mengontrol cucuk canting dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara, lantaran udara tidak sanggup masuk. Maka lubang ujung cucuk ditusuk menggunakan ijuk, atau serabut kelapa hingga masuk sepanjang cucuk. Biasanya setelah ditusuk ditiup kembali, atau pribadi dibatikkan pada mori. Keitimewaan menusuk ialah menggunakan tangan kiri dengan cara tertentu dalam waktu yang cepat.
- Canting yang beres keadaannya gres digoreskan pada mori. Tangan kiri terletak disebalik mori. Sebagai landasan (penguak) mori yang gres digores dengan canting. Jika cari cairan malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar mungkin lantaran pendinginan, malam itu dikembalikan kedalam wajan; canting dicidukkan pada cairan malam dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang sudah masbodoh tadi tidak besar pengaruhnya terhadap malam dalam wajan. Hal itu dilakukan smpai selesai, dan termasuk nemboki.
C. Membatik
Tahap-tahap membatik sepotong mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap sanggup dikerjakan oleh orang yang berbeda tetapi sepotong mori tidak sanggup dikerjakan beberapa orang bersamaan waktu.
Tahap-tahap itu ialah :
a. Membatik Kerangka
membatik kerangka dengan menggunakan teladan disebut “mola”, sedang tanpa teladan disebut “ngrujak”. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik bekas menggunakan teladan maupun dirujak, disebut “batikkan kosongan”, atau disebut juga “klowongan’. Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan.
b. Ngisen-iseni
![]() |
Ngisen-Iseni |
c. Nerusi
Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan dibatik kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusnya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-cantingyang dipergunakan sama dengan canting canting untuk ngengreng nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahap ini pun masih disebut “ngengrengan”. Pengobeng yang membatik dari permulaan hingga selesai nerusi disebut “ngengreng”.
d. Nembok
![]() |
Menembok |
e. Bliriki
![]() |
Mbliriki |
Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses membatik selesai juga. Hasil Bliriki disebut “blirikan” tetapi jarang disebut demikian, lebih biasa disebut”tembokan”. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai; atau kalau batikan tidak perlu ditembok,maka yang disebut batikan selesai yakni sebelum ditembok. Pada jaman yang silam didaerah Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur hingga “malam “ nya hampir meleleh.
Maksud penjemuran itu ialah supaya supaya lilin pada mori tidak gampang rontok atau hilang. Sebab “malam” (mendidih) waktu dipergunakan untuk membatik dan bersinggungan dengan mori masbodoh akan membeku tiba-tiba lantaran proses “kejut”. Pembekuan malam demikian itu kurang baik, lantaran batikan sering patah-patah dan malam gampang rontok.
![]() |
Penjemuran |
Di tempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin. Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, lantaran antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat. Selesailah kerja membatik.
D. Mbabar
![]() |
Pembabaran |
Perbedaan hanyalah terletak pada perbandingan materi adonan yang dipergunakan. Ada suatu kawasan dimana perbandingan materi adonan sudah tertentu sesuai dengan kain yang diinginkan. Tetapi ada pula kawasan yang mempergunakan perbandingan tidak menentu dan hanya berdasar asumsi berdasarkan pengalaman. Selain itu perbedaan terletak pada jangka waktu yang diharapkan setiap tahap-tahap mbabar. Ada pula yang mempergunakan jangka waktu tertentu; tetapi ada pula yang berdasar asumsi saja. Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi kualitas kain yang diproduksi setiap daerah. Hal itu tidak tidak mungkin lantaran pada mbabar terdapat proses kimia; sedang waktu yakni sangat besar pengaruhnya terhadap proses kimia. Tetapi proses ini belum diketahui secara mendalam oleh para pembabar masa silam.
1. Bahan Untuk Mbabar
Pada umumnya untuk mbabar batikan dipergunakan materi hasil alam dengan pengolahan sederhana. Memang bumi Indonesia kaya akan hasil alam yang bermacam-macam.
Bahan untuk mbabar, antara lain :
a. Nila
Nila dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah semenjak jaman purbakala tarum digunakan untuk menciptakan warna pakaian. Nila dipergunakan untuk medel batikan dengan adonan materi yang lain.
b. Tebu
Tebu diambil gulanya atau tetes; sebagai campuran.
c. Kapur Sirih (Enjet)
Dipergunakan untuk campuran.
d. Tajin
Tajin ialah semacam kanji yang diambil dari air rebusan beras.
e. Soga
Soga nama tumbuh-tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan mempunyai warna kuning.
f. Saren
Saren dari kata sari berarti inti atau pati. Di Jawa terdapat istilah “saren”;yang dimaksud yakni darah lembu (kerbau) yang dipotong dan dimasak. Di sini saren yakni suatu ramuan, atau adonan dari beberapa materi untuk mencelup batikan setelah disoga. Dan tahap ini yakni tahap menghilangkan “malam”, atau mendekati penyelesaian.
2. Proses Mbabar Batikan Menjadi Kain.
Proses ini terbagi dalam beberapa tahap dan harus diselesaikan secara urut. Kalau batikan sudah dibliriki, pekerjaan meningkat kepada tahap pertama proses mbabar.
Tahap-tahap itu ialah :
A. Medel Dan Mbironi
![]() |
Tahap Awal Pemedelan |
![]() |
Perendaman Pemedelan |
Setelah batikan kering, dimasukkan lagi ke dalam nila. Pekerjaan ini dilakukan beberapa kali hingga batikan mencapai warna hitam. Kalau batikan sudah berwarna hitam, barulah kerja tersebut berhenti. Nila bekas pencelupan segera ditambah dengan endapan nila sebanyak 1,5 pinggan besar. Penambahan ini disebut “nglawuhi” (nglawuhi dari kata lawuh berarti lauk pauk untuk makan). Tetapi arti atau fungsi nglawuhi dalam proses mbabar kain ini yakni sebagai penyempurna. Sekarang nila berwarna kuning. Kalau terlalu kuning akan berbahaya alasannya yakni sanggup merontokkan “malam”, sedangkan kiprah “malam” pada mori belum selesai. Warna terlalu kuning disebabkan kurang enjet (kapur sirih). Tetapi bila terlalu banyak enjet, warnanya akan menjadi hijau, tidak sanggup untuk menghitamkan batikan. Untuk mengembalikan warna menjadi kuning, cukuplah diberi cuka Jawa atau gula tetes. Seandainya belum juga kuning, diberi gula tebu dan asam hingga warna berkembang menjadi kuning kembali sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu batikan dimasukkan kembali dalam adonan nila menyerupai kerja di atas.
![]() |
Pengerokan |
![]() |
Pembilasan |
B. Nyoga
![]() |
Melipat Wiru Batik |
Setelah selesai menyoga, segera batikan disareni. Kapur dan gula tebu dituangi air jambangan, diaduk hingga hancur. Sesudah mengendap, maka air rendaman dituangkan dalam kenceng. Batikan dimasukkan dalam kenceng hingga merata; kemudian diangkat hingga atus. Sesudah atus, terus dipukul-pukul dalam air panas supaya “malam” hilang. Memukulkan pada air panas disebut “nglorot atau “nglungsur”. Setelah batikan “dilorot” terus dicuci dan dijemur. Penjemuran batikan itu disebut “dikemplang”. Sampai tahap ini disebut “ambabar”. Setiap pagi hari batik yang sudah berupa kain itu diembun-embunkan. Selesailah proses mbabar batikan.